Selasa, 20 Januari 2009


SEBAGAI pulau dengan penduduk terpadat, wajar bila Jawa memiliki variasi kuliner yang kaya. Beberapa di antaranya bahkan ada yang mirip satu sama lain.

Bukalah peta Pulau Jawa, lalu tandai setiap kota dengan masakan khasnya. Niscaya, peta itu akan dipenuhi guratan tanda. Sama halnya bila kita mengunjungi satu per satu kota di Pulau Jawa, hampir semua punya hidangan khas, minimal berbeda rasa atau penyajian dengan masakan sejenis di kota lain.

Sebut saja sega jamblang khas Cirebon dan nasi timbel asal Bandung. Biarpun samasama menu nasi, penyajian sega jamblang dialasi daun jati, sedangkan nasi timbel dibungkus daun pisang. Lauk pendampingnya pun berbeda.

Sebagai bagian dari budaya, masakan tradisional agak sulit dilacak asal-usul daerahnya. Padatnya penduduk Pulau Jawa dan tingginya mobilisasi kian menguatkan akulturasi, tak terkecuali dalam hal masakan. Satu jenis masakan bisa menghasilkan berpuluh turunan varian.

Untuk mengenal aneka hidangan tradisional dari berbagai daerah di Pulau Jawa, restoran Kafe Teluk Jakarta di Hotel Santika Premiere Jakarta menggelar "Javanese Food Festival" selama bulan Januari. Setiap Rabu dan Kamis, saat jam makan malam, pengunjung dapat menikmati ragam sajian istimewa ini. Sebagai pembuka, bangkitkan selera makan dengan mencicipi gombyang soto tegal. Bumbunya komplet dengan kuah merah agak gelap dari perpaduan cabai merah dan tumisan kluwek. Air asam jawa ditambahkan untuk memberi cita rasa segar.

Sebagai penyumbang aroma, dipakai sereh dan daun jeruk purut serta daun salam. Satu lagi yang unik, soto yang hendak disajikan terlebih dulu ditaburi cabai rawit kukus. "Kalau suka pedas, cabainya tinggal ditekan pakai sendok sampai hancur," kata Sous Chef Hotel Santika Jakarta, Sukamto.

Sayangnya, penjual soto tegal saat ini umumnya lebih suka menyediakan sambal yang sudah jadi dengan alasan lebih praktis. Sama halnya soto kudus, nasi dalam soto tegal dicampur bersama kuahnya agar lebih nikmat. "Soto tegal aslinya juga disajikan dengan sate jeroan," imbuh Sukamto.

Sajian pembuka lainnya adalah trancam. Penyuka pecel, gado-gado, dan lotek pasti bakal kecantol dengan hidangan asal Yogyakarta ini. Bahan dasarnya adalah aneka sayuran segar yang dipotong-potong dan dibiarkan mentah. Yang khas adalah "saus" siramannya yang disebut gudangan atau uraban.

Gudangan dibuat dari kelapa muda parut yang dibumbui bawang putih, kencur, terasi, garam, dan daun jeruk. Juga cabai merah dan gula merah sehingga warna kelapa jadi kemerahan. Bila diamati, wujud gudangan lebih mirip serundeng basah daripada saus. Namun, Sukamto menampik lantaran serundeng dimasak dengan cara disangrai, sedangkan gudangan dikukus.

Beralih ke hidangan utama, pelas udang dengan rasa sedikit pedas dan segar layak dicoba. Metode memasak pelas hampir sama dengan pepes, yakni dibungkus daun pisang lantas dikukus atau dibakar di atas bara. "Bumbu dasar pelas agak berbeda dengan pepes. Umumnya pelas pakai bumbu kuning dan rasanya agak manis, sedangkan pepes lebih pedas. Racikan pelas aslinya juga dicampur kacang merah tumbuk," jelas Sukamto, seraya menyarankan untuk tidak terlalu lama mengukus pelas isi udang. "Lima menit saja. Kalau kelamaan bisa mengeras dagingnya," lanjut dia.

Menu berikutnya adalah becek menthok khas Jawa Timur. Menthok merupakan sejenis itik yang lebih berdaging dan lebih pendek dari bebek biasa. Menurut Sukamto, becek sebetulnya mirip opor. Namun, opor sudah telanjur identik dengan opor ayam. Pada bumbu becek juga terdapat bebe-rapa perbedaan, seperti penambahan jintan dan pala yang menciptakan aroma khas. Selain itu, rasa kuah becek biasanya tidak semanis opor.

Selain menu-menu tersebut, masih banyak variasi menu dalam "Javanese Food Festival" yang akan berotasi setiap hari.
Di antaranya nasi goreng dendeng, nasi goreng cabe ijo, dan gulai buntut yang gurih. Ada pula aneka jajanan pasar dari berbagai daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar